UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000
TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Disusun oleh :
1. Teguh
2. Tia
3. Fuad
4. Firda
5. Nyda
6. Siti Aisyah
7. Rina Dewi
MADRASAH
ALIYAH NEGERI RAJAGALUH
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia “ ini dengan tepat waktu.
Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan
memerlukan banyak perbaikan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
Pada
kesempatan ini, dengan tulus ikhlas kami menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada kedua orangtua penyusun, Bapak /Ibu guru dan teman-teman yang
telah memberikan bantuan dan partisipasinya baik dalam bentuk moril maupun
materiil untuk keberhasilan dalam penyusunan makalah ini.
Kami
selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi para
pembaca. Amin.
Rajagaluh, September 2015
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR
ISI................................................................................................. ii
BAB I.
LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1
NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN HAM ............. 4
A.
RUANG LINGKUP KEWENANGAN PENGADILAN HAK ASASI
MANUSIA (PENGADILAN HAM) .................................................... 5
MANUSIA (PENGADILAN HAM) .................................................... 5
B.
PENGADILAN HAM AD HOC6......................................................... 6
C.
PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM DI INDONESIA
SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 26 TAHUN 2000 ................................................................... 6
SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 26 TAHUN 2000 ................................................................... 6
D.
HUKUM ACARA ................................................................................. 8
E.
PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI....................................... 9
F.
KOMPENSASI, RESTITUSI DAN REHABILITASI ........................ 9
G.
KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ............................... 9
BAB III
PENUTUP ..................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
LATAR BELAKANG
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI
MANUSIA
Hak Asasi Manusia yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia,
Ketetapan MPR-RI Nomor : XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan
dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas-asas hukum internasional.
Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. pemberian perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dapat dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. pemberian perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dapat dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, telah dibentuk Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pembentukan Undang-Undang
tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa, disamping hal tersebut, pembentukan Undang-Undang
Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan
hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat
dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur Hak Asasi Manusia yang
telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia.
Bertitik
tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun
dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di
Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan
khusus pagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Untuk merealisasikan
terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, dibentuklah Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dasar pembentukan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia
adalah sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia diharapkan dapat melindungi Hak Asasi Manusia, baik
perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian
hukum, keadilan dan perasaan aman baik bagi perseorangan maupun masyarakat,
terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Adapun pertimbangan yang menjadi landasan pembentukan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini adalah sebagai berikut :
Adapun pertimbangan yang menjadi landasan pembentukan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini adalah sebagai berikut :
1.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan
“extra ordinary crime” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional
maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun
immateriil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun
masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum
untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan
bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2. Terhadap
perkara-perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, diperlukan
langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang
bersifat khusus yaitu :
-
Diperlukan penyelidikan dengan membentuk Tim ad hoc,
Penyidik ad hoc, Penuntut Umum ad hoc, dan Hakim ad hoc.
-
Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang
menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
-
Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu
untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.
-
Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada
kadaluwarsa bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Mengenai pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas
retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang sebagaimana tercantum dalam
Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“ Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
dengan ungkapan lain, asas retroaktif
dapat diberlakukan dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia itu sendiri
berdasarkan Pasal 78 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena
itu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengatur pula tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) untuk memeriksa dan memutus
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-Undang ini. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan secara
kelembagaan, Pengadilan HAM Ad Hoc ini berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN HAM
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN HAM
A.
RUANG
LINGKUP KEWENANGAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (PENGADILAN HAM)
Berdasarkan Pasal (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000,
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat dan berwenang pula memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM berat yang diluar batas teritorial wilayah negara Republik
Indonesia oleh warga negara Indonesia.
Pelanggaran
HAM berat meliputi :
a. Kejahatan
Genosida yaitu : setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama dengan cara :
Ø Membunuh
anggota kelompok
Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.
Ø
Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian.
Ø Memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu. ( Pasal 8 )
b. Kejahatan
terhadap kemanusiaan yaitu : salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :
– Pembunuhan
– Pemusnahan
– Perbudakan
– Pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa
– Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
– Penyiksaan
– Penyiksaan
– Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara.
– Penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional.
– Penghilangan orang
secara paksa.
– Kejahatan
apartheid ( perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan dalam konteks suatu rezim
kelembagaan penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu
kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk
mempertahankan rezim tersebut.) (Pasal 9 )
B.
PENGADILAN
HAM AD HOC
Pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini Nomor 26 Tahun
2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang berada dalam
lingkungan Peradilan Umum yang pembentukannya atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya
Pengadilan HAM Ad Hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mendasarkan pada
dugaan telah terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dibatasi
pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. (Pasal
43)
C. PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM DI INDONESIA
SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000
Pada saat
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mulai berlaku, dibentuklah Pengadilan HAM di
beberapa daerah yang daerah hukumnya berada pada Pengadilan Negeri di :
1. Jakarta
Pusat yang meliputi Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Propinsi Jawa
Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah
2. Surabaya
yang meliputi Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur.
3. Makassar
yang meliputi Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya
4. Medan
yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi dan
Sumatera Barat.
D.
HUKUM ACARA
D.1 PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
Penyelidikan
terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dan dalam hal melakukan penyelidikan tersebut Komisi
Nasional Hak Asasi Nasional dapat membentuk Tim Ad Hoc yang terdiri dari Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat yang berwenang menerima laporan
dan melakukan pemeriksaan tentang dugaan terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat ( Pasal 18 dan 19)
Kewenangan untuk
melakukan penyidikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dimiliki
oleh Jaksa Agung namun tidak termasuk kewenangan untuk menerima laporan dan
pengaduan sebagaimana di atur dalam pasal 21
D.2 PENANGKAPAN
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk
kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup
dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan
penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dipersangkakan. Penangkapan dapat
dilakukan untuk paling lama 1 hari (Pasal 11 ayat 1,2 dan 5)
Dalam hal tersangka
tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan
bahwa penangkap harus segera penyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang
ada kepada Penyidik ( Pasal 11 ayat 4)
D.3 PENAHANAN
Penahanan untuk
kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat
diperpanjang paling lama selama 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan
daerah hukumnya. Jika proses penyidikan belum selesai selama jangka waktu
sebagaimana di uraikan di atas, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama
60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah Hukumnya
Penahanan untuk
kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang
paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Dalam hal jangka waktu penahanan selama 50 hari telah habis sedangkan proses
penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling
lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90
hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk
pemeriksaan Kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 hari dan
jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama 30 hari oleh Ketua
Mahkamah Agung. (Pasal 12-17)
D.4 PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN HAM
Pemeriksaan perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang terdiri dari
2 orang Hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang Hakim Ad Hoc
(Pasal 27 ayat 2)
Hakim Ad Hoc pada
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung yang diangkat
untuk masa waktu 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan (
Pasal 28, Pasal 32 ayat 4) sedangkan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung diangkat
untuk satu kali masa jabatan selama 5 tahun. (Pasal 33 ayat 5)
Perkara pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam
waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan
HAM ( pasal 31).
Dalam hal perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan
Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90
hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi (Pasal 32 ayat 2
)
Dalam hal perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung,
perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam waktu paling lama 90 hari
terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung (Pasal 33 ayat 1 ).
E.
PERLINDUNGAN
KORBAN DAN SAKSI
Setiap korban dan
Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berhak atas perlindungan
fisik dan mental dari ancaman, gangguan teror dan kekerasan dari pihak manapun.
Perlindungan semacan ini wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan
aparat keamanan secara cuma-cuma sejak tahap penyelidikan, Penyidikan,
penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan ( Pasal 34 UU No. 26 Tahun
2000 jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
Berat)
F.
KOMPENSASI,
RESTITUSI DAN REHABILITASI
Setiap korban
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang dicantumkan dalam amar
putusan Pengadilan HAM (Pasal 35 ayat 1 dan 2)
1. Kompensasi
adalah : ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Restitusi
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu.
3. Rehabilitasi
adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan
atau hak-hak tertentu.
Kompensasi, Restitusi dan atau Rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya (Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat)
Kompensasi, Restitusi dan atau Rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya (Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat)
G.
KOMISI
KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Dalam Undang-Undang
Pengadilan HAM memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat dilakukan di luar Pengadilan HAM yaitu dilakukan oleh Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi ( Pasal 47)
Keberadaan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-RI Nomor
V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dimaksudkan
sebagai lembaga ekstra yudisial yang ditetapkan dengan Undang-Undang yang
bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan
kekuasaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lampau, sesuai dengan
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan
rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
BAB III
PENUTUP
Dengan dibentuknya Pengadilan HAM serta komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai Lembaga ekstra yudisial di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia maka diharapkan masalah-masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM bisa diselesaikan dan dapat berperan dalam mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
El-Muhtaj,
Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta: Kencana
2009)
Hartono,
M. Dimyati, Problematika dan Solusi Amandemen UUD 1945 (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Muladi,
Hak Asasi Manusia (Bandung: PT Refika Aditama, 2009)
UUD
1945 AMANDEMEN I, II, III, IV (Jakarta: Barus,___)
UU
No 39 Tahun1999 tentang HAM (___: Asa Mandiri, 2010)
Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia (____: Difa Publisher ____)
[4] M.
Dimyati Hartono, Problematika dan Solusi Amandemen UUD 1945 (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 24.
0 komentar:
Post a Comment