Thursday, 17 September 2015

MAKALAH UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA



UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA


 


Disusun oleh :
1.      Teguh
2.      Tia
3.      Fuad
4.      Firda
5.      Nyda
6.      Siti Aisyah
7.      Rina Dewi



MADRASAH ALIYAH NEGERI RAJAGALUH
2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia “ ini dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan memerlukan banyak perbaikan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.

Pada kesempatan ini, dengan tulus ikhlas kami menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua penyusun, Bapak /Ibu guru dan teman-teman yang telah memberikan bantuan dan partisipasinya baik dalam bentuk moril maupun materiil untuk keberhasilan dalam penyusunan makalah ini.

Kami selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi para pembaca. Amin.


Rajagaluh,   September 2015



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................      i
DAFTAR ISI.................................................................................................      ii
BAB I. LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA                     1
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN HAM .............      4
A.    RUANG LINGKUP KEWENANGAN PENGADILAN HAK ASASI
MANUSIA (PENGADILAN HAM) ....................................................      5
B.     PENGADILAN HAM AD HOC6.........................................................      6
C.     PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM DI INDONESIA
SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 26 TAHUN 2000 ...................................................................      6
D.    HUKUM ACARA .................................................................................      8
E.     PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI.......................................      9
F.      KOMPENSASI, RESTITUSI DAN REHABILITASI ........................      9
G.    KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ...............................      9
BAB III PENUTUP .....................................................................................      11
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR-RI Nomor : XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas-asas hukum internasional.
Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. pemberian perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dapat dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pembentukan Undang-Undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, disamping hal tersebut, pembentukan Undang-Undang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur Hak Asasi Manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia.
Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus pagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dasar pembentukan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat melindungi Hak Asasi Manusia, baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Adapun pertimbangan yang menjadi landasan pembentukan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini adalah sebagai berikut :
1.      Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan “extra ordinary crime” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2.      Terhadap perkara-perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus yaitu :
-          Diperlukan penyelidikan dengan membentuk Tim ad hoc, Penyidik ad hoc, Penuntut Umum ad hoc, dan Hakim ad hoc.
-          Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
-          Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.
-          Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“ Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
dengan ungkapan lain, asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia itu sendiri berdasarkan Pasal 78 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengatur pula tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) untuk memeriksa dan memutus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan secara kelembagaan, Pengadilan HAM Ad Hoc ini berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN HAM
A.    RUANG LINGKUP KEWENANGAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (PENGADILAN HAM)
Berdasarkan Pasal (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Pengadilan HAM bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat dan berwenang pula memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang diluar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.
Pelanggaran HAM berat meliputi :
a.       Kejahatan Genosida yaitu : setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara :
Ø  Membunuh anggota kelompok
Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.
Ø  Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian.
Ø  Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu. ( Pasal 8 )
b.      Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu : salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :
– Pembunuhan
– Pemusnahan
– Perbudakan
– Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
– Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
– Penyiksaan
– Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
– Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
– Penghilangan orang secara paksa.
– Kejahatan apartheid ( perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim tersebut.) (Pasal 9 )
B.     PENGADILAN HAM AD HOC
Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini Nomor 26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang pembentukannya atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. (Pasal 43)

C.     PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000
Pada saat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mulai berlaku, dibentuklah Pengadilan HAM di beberapa daerah yang daerah hukumnya berada pada Pengadilan Negeri di :
1.      Jakarta Pusat yang meliputi Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah
2.      Surabaya yang meliputi Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
3.      Makassar yang meliputi Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya
4.      Medan yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi dan Sumatera Barat.
D.    HUKUM ACARA
D.1 PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
Penyelidikan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan dalam hal melakukan penyelidikan tersebut Komisi Nasional Hak Asasi Nasional dapat membentuk Tim Ad Hoc yang terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat yang berwenang menerima laporan dan melakukan pemeriksaan tentang dugaan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat ( Pasal 18 dan 19)
Kewenangan untuk melakukan penyidikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dimiliki oleh Jaksa Agung namun tidak termasuk kewenangan untuk menerima laporan dan pengaduan sebagaimana di atur dalam pasal 21


D.2 PENANGKAPAN
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dipersangkakan. Penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama 1 hari (Pasal 11 ayat 1,2 dan 5)
Dalam hal tersangka tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera penyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada Penyidik ( Pasal 11 ayat 4)
D.3 PENAHANAN
Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang paling lama selama 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Jika proses penyidikan belum selesai selama jangka waktu sebagaimana di uraikan di atas, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah Hukumnya
Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Dalam hal jangka waktu penahanan selama 50 hari telah habis sedangkan proses penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk pemeriksaan Kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 hari dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama 30 hari oleh Ketua Mahkamah Agung. (Pasal 12-17)

D.4 PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN HAM
Pemeriksaan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang terdiri dari 2 orang Hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang Hakim Ad Hoc (Pasal 27 ayat 2)
Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung yang diangkat untuk masa waktu 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan ( Pasal 28, Pasal 32 ayat 4) sedangkan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 tahun. (Pasal 33 ayat 5)
Perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM ( pasal 31).
Dalam hal perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi (Pasal 32 ayat 2 )
Dalam hal perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung (Pasal 33 ayat 1 ).



E.     PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI
Setiap korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan teror dan kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan semacan ini wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma sejak tahap penyelidikan, Penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan ( Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat)
F.     KOMPENSASI, RESTITUSI DAN REHABILITASI
Setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM (Pasal 35 ayat 1 dan 2)
1.      Kompensasi adalah : ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
2.      Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
3.      Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak tertentu.
Kompensasi, Restitusi dan atau Rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya (Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat)
G.    KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan di luar Pengadilan HAM yaitu dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( Pasal 47)
Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dimaksudkan sebagai lembaga ekstra yudisial yang ditetapkan dengan Undang-Undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.


BAB III
PENUTUP

Dengan dibentuknya Pengadilan HAM serta komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai Lembaga ekstra yudisial di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia maka diharapkan masalah-masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM bisa diselesaikan dan dapat berperan dalam mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta: Kencana 2009)
Hartono, M. Dimyati, Problematika dan Solusi Amandemen UUD 1945 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Muladi, Hak Asasi Manusia  (Bandung: PT Refika Aditama, 2009)
UUD 1945 AMANDEMEN I, II, III, IV (Jakarta: Barus,___)
UU No 39 Tahun1999 tentang HAM (___: Asa Mandiri, 2010)
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (____: Difa Publisher ____)

[1] Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Difa Publisher), hlm. 343
[2] Pasal 1 UU No 39 Tahun1999 tentang HAM
[3] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta: Kencana 2009), hlm 69.
[4] M. Dimyati Hartono, Problematika dan Solusi Amandemen UUD 1945 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 24.
[5] Majda El-Muhtaj, Op.cit, hlm 96.
[6] Ibid, hlm 83.
[7]  Ibid, hlm 86.
[8] M. Dimyati Hartono, Op.cit, hlm. 33.
[9] Ibid, hlm. 34.
[10] Muladi, Hak Asasi Manusia  (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 46.

0 komentar:

Post a Comment