MAKALAH
WALISONGO
“SUNAN
KUDUS”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
pelajaran sejarah wajib
X SOCIAL 1
Oleh Kelompok :
1.
Elin
Nurlaela
2.
Epih
Mayawati
3.
Indah
Ayu Oktavianti
PEMERINTAH
KABUPATEN MAJALENGKA
DINAS
PENDIDIKAN
SMA
NEGERI 1 RAJAGALUH
TAHUN
AJARAN 2013/2014
KATA
PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah
ini guna memenuhi tugas mata pelajaran Agama Islam.
Dalam penyusunan tugas atau
materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari
bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
teratasi.
Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada
pembaca. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu, kepada guru mata pelajaran saya
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan
makalah saya di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Rajagaluh, Mei 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
................................................................................ i
DAFTAR ISI
............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang .................................................................................. 1
B. Tujuan
Penulisan ............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Walisongo
dan Dakwah .................................................................... 2
B. Sunan
Kudus ..................................................................................... 2
C. Cara
Berdakwah yang Luwes ........................................................... 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
........................................................................................ 11
B. Saran-saran
........................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam tersebar keseluruh penjuru dunia dengan cepat. Dalam
waktu ± 23 tahun, islam sudah tersebar ke seluruh jazirah arabia berkat dakwah
nabi Muhammad SAW. Cepatnya penyebaran islam itu tidak berarti bahwa dakwah
yang dilakukkan nabi berjalan mulus begitu saja. Banyak halangan dan rintangan
berat yang dihadapi beliau dari kaum kafir Quraisy.
Semenjak Rasulullah meninggal, banyak sahabat beliau yang
melanjutkan dakwah dan menyebarkan agama islamke seluruh penjuru dunia.
Begitupun di Indonesia, agama Islam masuk melalui perdagangan oleh pedagang asal India. Sejak saat itulah bermunculan para ulama besaryang menyebarkan Islam ke seluruh nusantara. Salah satunya adalah Wali songo.
Begitupun di Indonesia, agama Islam masuk melalui perdagangan oleh pedagang asal India. Sejak saat itulah bermunculan para ulama besaryang menyebarkan Islam ke seluruh nusantara. Salah satunya adalah Wali songo.
Para ulama, juru dakwah, atau mubaligh yang pantas dijadikan
contoh amar ma’ruf-nahi munkar di tanah Jawa adalah Wali Songo. Mereka adalah
orang yang berhasil menyebarluaskan Islam baik di lingkungan pesantren,
penguasa kerajaan, maupun orang biasa.
Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana peran Wali Songo
dalam peradaban Islam di Indonesia perlu diadakan pembahasan mengenai hal itu.
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
dengan jelas peranan Wali Songo dalam peradaban Islam di Indonesia khususnya
Sunan Kudus.
2. Memenuhi
tugas mata pelajaran Sejarah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Wali Songo
dan Dakwah Islam
Dalam menyiarkan Islam, Wali Songo tidak hanya akrab dengan
masyarakat umum, tetapi juga dengan penguasa kerajaan. Ketika menyiarkan Islam,
mereka menggunakan berbagai bentuk kesenian tradisional masyarakat setempat.
Mereka menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam kesenian tersebut. Karena itu,
upaya mereka terasa tidak asing dan sangat komunikatif bagi masyarakat
setempat. Usaha ini membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan agama Islam,
tetapi juga memperkaya kandungan budaya Islam.
B.
SUNAN
KUDUS
1. Asal Usul
Menurut
salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar
Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini
disebelah utara kota Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan
Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak
berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam
pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung
gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian
digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang
bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan
Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan
bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan
Majapahit akhinya berimbang.
Selanjutnya
melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga,
peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit
diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya
sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan
tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada
akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
2. Guru-gurunya
Disamping
belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa
ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan
Ampel.
Nama asil
Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri
cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo.
Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam
itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan
agama Islam melalui perdagangan.
Di jawa,
the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di
sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai
Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan
juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.
Banyak
yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu
sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far
Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan
kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar
bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi
masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya,
Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa
tahun.
C.
Cara Berdakwah yang Luwes
1. Strategi Pendekatan kepada Massa
Sunan
Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang
menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :
a. Membiarkan dulu adat istiadat dan
kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan
jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
b. Bagian adat yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
c. Tut Wuri Handayani, artinya
mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan
untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri
Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
d. Menghindarkan konfrontasi secara langsung
atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil
ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
e. Pada akhirnya boleh saja merubah
adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi
dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam
yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim
agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka
lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara
lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah
nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi
dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama
dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan
atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan
Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
Namun
atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya
dapat dikompromikan.
2. Merangkul Masyarakat Hindu
Di
Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha.
Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih
mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat
lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq
harus berjuang menegakkan agama.
Pada
suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam
riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa
para pedagang asing dari kapal besar. Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah
Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya,
ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam
pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih
sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan
Sunan Kudus?
Apakah
Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru
memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati
rakyatnya sendiri.
Dalam
tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama
Islam maupun Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan
Kudus keluar dari dalam rumahnya.
Sedulur-sedulur
yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka
suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab
diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir
mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.
Mendengar
cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka
Ja’far Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan
ceramahnya. Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang pernah menolong saya,
maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.
Kontan
para penduduk terpesona atas kisah itu.
Sunan
kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang
kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan
Kudus.
Masyarakat
semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu
lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan
keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah,
sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak
masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk
mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik
orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang
dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip
candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke
dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
3. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah
berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi
yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun
menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring
umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat
memaksa.
Sesudah
mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran
yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang
diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan”
atau Sanghika Marga” yaitu :
a. Harus memiliki pengetahuan yang
benar
b. Mengambil keputusan yang benar
c. Berkata yang benar
d. Hidup dengan cara yang benar
e. Bekerja dengan benar
f. Beribadah dengan benar
g. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun membuahkan hasil,
banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang
wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan
ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
4. Selamatan Mitoni
Didalam
cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal
mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti
diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang
kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan
untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah
seorang anggota keluarga, selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus
sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha
sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini
dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya,
bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara
selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti
Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat
tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan
dalam bentuk Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya
bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada
penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan
permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan
berwajah seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi
Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat
Maryam dalam Al-Qur’an.
Sebelum
acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah
para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara
pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu
masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda
dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan,
kemudian diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat
setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan
diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan
rumah.
Ketika
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau
mengundang seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke
dalam mesjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni
dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.
Sebelum
masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah
disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat
yang tidak mau, terutama dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan
Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada
masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman
mereka atau tauhid mereka belum terbina.
Maka
pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak
usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar
biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan
Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan
rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah
memusatkan perhatiannya pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah
terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara
tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat
ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi
ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian
besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu
membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan
untuk berwudhu.
Dengan
demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh
simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan
masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau
kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang
Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan
ajaran-ajaran agama Islam.
Sunan
Kudus di Negeri Mekkah
Didalam
legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah
Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah.
Sewaktu
berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah
penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa
yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda
yang cukup besar jumlahnya. Sudah banyak orang mencoba tapi tidak pernah
berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap penguasa
negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.
Dengan
apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.
Dengan
doa jawab Ja’far Sodiq singkat.
Kalau
hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama
dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah
penyakit ini.
Saya
mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja
kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.
Hem,
sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa
kekurangan mereka?
Anda
sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah
menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak
ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah.
Sang
Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.
Ja’far
Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan.
Secara khusus Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo
singkat wabah penyakit mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan
beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
Bukan
main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang
dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq.
Tapi
Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari
Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa,
dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah
suci.
Rakyat
kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali
mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu.
Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang
dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan
Kudus.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wali Songo adalah kelompok ulama yang brejumlah sembilan
orang. Mereka menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Selain itu, mereka juga
berpengaruh besar dalam kehidupan politik pemerintahan.
Adapun
nama-nama Wali Songo tersebut ialah sebagai berikut:
Syiekh
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Sunan
Ampel
Sunan
Giri
Sunan
Bonang
Sunan
Kalijag
Sunan
Kudus
Sunan
Drajad
Sunan
Muria
Sunan
Gunung Jati
Dalam
menyiarkan Islam mereka menggunakan kesenian dan budaya masyarakat setempat.
Sehingga masyarakat merasa tidak asing dan lebih komunikatif. Usaha ini
membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan budaya Islam, tetapi juga
memperkaya kandungan budaya Jawa.
B.
Saran-saran
Saran yang kami
sampaikan ialah sebagai berikut:
Dengan
mengetahui sejarah singkat Wali Songo, mari kita bersama-sama meningkatkan iman
dan taqwa kepa Allah SWT.
Setelah
mengetahui cara Wali Songo menyebarkan islam pada umat islam terdahulu, marilah
kita juga menyiarkan agama islam dengan cara yang disenangi oleh masyarakat
zaman sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Post a Comment